KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

Bagikan Konten Kami

Kepemimpinan Situasional – Tema kepemimpinan merupakan tema yang tidak pernah usang untuk dijadikan bahan kajian dan penelitian hingga saat ini. Berbagai teori dari berbagai ahli dan praktisi kepemimpinan telah ditulis dan dikaji secara teoritis maupun aplikasinya di lapangan.

Diantara teori-teori tersebut, terdapat teori kepemimpinan yang cukup popular dan diterima luas karena fleksibilitas penerapannya di lapangan. Alih-alih mengkategorisasikan gaya kepemimpinan terbaik ke dalam gaya A atau B, atau menempatkan gaya kepemimpinan dalam suatu kontinum seperti transformasional dan transaksional, gaya kepemimpinan situaional menawarkan gaya kepemimpinan terbaik yang menyesuaikan dengan tingkat kesiapan dan kematangan bawahannya.

KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

READINESS & WILLINGNESS

Hersey & Blanchard (1984) Mengajukan sebuah teori dalam bidang kajian gaya kepemipinan berdasarkan kematangan bawahan yang selanjutnya dikenal dengan konsep Situational Leadership. Teori situational leadership menawarkan rumusan perilaku pemimpin yang efektif yang didasarkan pada tingkat kematangan tugas yang terdiri dari readiness (kemampuan) dan willingness (kemauan). Readiness mengacu kepada kesiapan bawahan dari sisi kemampuan dan skill untuk mengerjakan tugas. Sementara willingness terkait dengan kepercayaan diri, komitmen dan motivasi untuk melakukannya. Secara ringkas, teori ini menyatakan bahwa pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang dapat mengubah gaya kepemiminannya berdasarkan kuadran kemampuan dan kemauan bawahan yang sedang ia pimpin.

EMPAT KUADRAN BAWAHAN

Mau – Mampu. Dalam menghadapi anak buah yang telah memiliki kemampuan dan kemauan bekerja yang tinggi, yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin adalah cukup dengan mendelegasikan tugas dan kewenangan (delegating). Bawahan di kuadran utama ini justru harus lebih diberikan kebebasan untuk mengerjakan pekerjaan sesuai dengan gaya dan caranya sendiri. Pemimpin cukup memberikan arahan secara general dan ruang untuk saling berdiskusi.

Mampu – (Sedang) Tidak Mau. Bawahan yang berada di kuadaran dua merupakan golongan bawahan yang diketahui memiliki kemampuan dalam bekerja namun sedang mengalami penurunan dalam kemauan dan motivasi kerja. Peran seorang atasan sebagai konselor sekaligus sebagai teman bagi bawahan akan sangat menentukan dalam menghadapi situasi seperti ini. Pemimpin harus mampu membantu bawahan melalui konseling – atau dalam bahasa Hersey Blancard- disebut participating. Pemimpin diharapkan untuk dapat lebih terlibat dengan bawahan secara personal namun bukan secara tugas.

Tidak Mampu – Mau. Di kuadaran ketiga, terdapat bawahan dengan kemampuan yang masih rendah namun telah memiliki kemauan dan motivasi yang tinggi. Fenomena ini biasanya muncul pada karyawan baru atau pada mereka yang baru saja dipindahkan menempati bidang yang sama sekali baru baginya. Tantangan bagi karyawan ini adalah untuk secepat mungkin beradaptasi dan setahap demi setahap menguasi pekerjaannya dengan baik. Untuk itu, atasan harus mampu bertindak layaknya sebagai seorang coach yang mampu mengembangkan bawahan dari sisi skill dan penguasaan pekerjaan (coaching).

Tidak Mampu – Tidak Mau. Tantangan terakhir yang harus dihadapi seorang pimpinan adalah saat menghadapi karyawan dengan readiness dan juga willingness yang rendah. Bawahan yang demikian ini suka tidak suka harus tetap diberikan perhatian bahkan memerlukan penanganan secara khusus. Pemimpin harus dapat memberikan tugas secara mendetail dan melakukan pengawasan secara ketat untuk memastikan bawahan tetap mampu memberikan kontribusinya kepada organisasi (directing). Idealnya, anggota organisasi semacam ini sudah tidak layak untuk dipertahankan, namun apabila kondisi tidak memungkinkan untuk itu, resep situasional leadership yang diramu oleh Hersey & Blanchard ini dapat coba diterapkan. Harapannya, perlahan demi perlahan bawahan di kuadran ini dapat berpindah ke kuadran tiga untuk selanjutnya dapat dikembangkan ke pekerja dengan kualitas kuadran satu.

Meskipun belum terlalu banyak mendapatkan dukungan dari bukti penelitian empiris di lapangan, konsep ini cukup mendapatkan tempat khususnya di dunia manajemen karena sifat preskriptifnya. Rumusan ini mampu memberikan resep praktis bagi para pemimpin untuk dapat memperlakukan bawahannya secara khusus. Kesalahan pemimpin dalam memperlakukan bawahan yang tidak sesuai dengan tingkat kematangan tugasnya akan menjadi blunder yang fatal yang bisa berdampak bagi motivasi individu dan performa tim secara keseluruhan. Untuk itu, penting rasanya bagi kita sebagai pimpinan atau supervisor untuk dapat memperlakukan bawahan kita secara lebih personal dan customized sesuai dengan kesiapan dan kematangan para bawahan kita.

KEPEMIMPINAN SITUASIONAL Oleh : Luqman Tifa Perwira

Bagikan Konten Kami

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *