MEMAHAMI BUDAYA ORGANISASI

Bagikan Konten Kami

MEMAHAMI BUDAYA ORGANISASI – Telah banyak kajian yang membahas bagaimana transformasi performa suatu organisasi bermula dari perubahan yang dilakukan terhadap budaya organisasi tersebut. Di Indonesia, kita dapat mengambil kasus beberapa BUMN untuk dijadikan contoh. Sejumlah BUMN yang telah berhasil mengubah core value perusahaannya dapat berubah dari perusahaan sakit-sakitan menjadi salah satu penyumbang terbesar pemasukan negara.

Kita dapat menulusuri lebih lanjut bagaimana budaya suatu perusahaan dapat menjadi penentu lompatan performa organisasi melalui berbagai artikel dan buku yang telah banyak ditulis oleh para ilmuwan maupun praktisi. Saat ini kita akan lebih memfokuskan pembahasan, bagaimana kita sebagai anggota, pemilik, ataupun sebagai pihak luar dapat mengetahui dan memahami budaya dari suatu organisasi.

TIGA LAPISAN BUDAYA ORGANISASI

Edward Schein, salah seoraang pelopor dalam bidang kajian budaya organisasi membedakan budaya ke dalam tiga level. Pertama, Budaya organiasasi dapat dilihat dari lapisan paling luarnya, yaitu yang disebut dengan artefak. Artefak ini merupakan bentuk bentuk budaya yang secara langsung dapat diamati meliputi elemen-elemen fisik dari organisasi, perilaku yang nampak dan simbol-simbol representasi organisasi.

Lapisan budaya organisasi yang lebih dalam adalah nilai-nilai atau values. Nilai-nilai ini sengaja disosialisaskan dan ditanamkan kepada seluruh anggota organisasi melalui berbagai media, seperti buku panduan maupun pelatihan dasar filosofi perusahaan. Nilai-nilai ini menjadi panduan moral dan perilaku bagi organisasi namun praktek dan penerapannya masih berada dalam tataran kesadaran anggota organisasi. Terkadang nilai ini ada yang dinyatakan secara eksplisit (espoused) namun dalam pelaksanaannya berkebalikan dengan nilai yang tertulis. Menurut Schein, nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai yang diyakini dan dipraktekkan oleh anggota organisasi (enacted values).

Lapisan budaya yang paling dalam adalah asumsi dasar. Asumsi dasar merupakan level budaya organisasi yang ada pada semua anggota organisasi. Asumsi dasar ini yang mendasari perilaku anggota organsiasi setiap hari. Ciri utama dari asumsi dasar ini adalah, ia diyakini secara tidak sadar oleh sebagian besar anggota organisasi dan tidak dapat diperdebatkan. Ia diterima begitu saja dan telah menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan, perilaku, dan gaya kerja setiap anggota organisasi. Penyimpangan dari asumsi dasar ini akan membuat anggota organisasi tersisih secara otomatis dari organisasi tersebut.

Untuk lebih mudah memahami ketiga lapisan budaya di atas, kita dapat mencoba untuk melihat ilustrasi berikut. Saat anda berkunjung ke sebuah departemen store, logo, seragam, dan banner-banner promo dari departemen store tersebut adalah artefak-artefak organisasi tersebut. Penataan tenant, penyediaan kursi untuk para suami penunggu dan lampu-lampu dekorasi termasuk bagian dari artefak yang dapat langsung djadikan indikator penilaian budaya organisasi. Artefak juga meliputi perilaku yang langsung Nampak dari para pramuniaga di dalamnya. Senyuman, cara mereka menyapa, dan menewarkan bantuan tergolong lartefak-artefak budaya organisasi.

Lapisan yang lebih dalam dari budaya adalah nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dirumuskan dari artefak-artefak yang Nampak dan memiliki benang merah berupa nilai yang ingin ditampilkan melalui penampilan fisik tersebut. Misalkan, senyum pramuniaga, sapaan pelayanaan, kamar pas yang nyaman dan kursi ruang tungun menunjukkan nilai kenyamanan belanja yang ingin diberikan. Jargon dan moto yang diyakini oleh para manager misalnya, “pelanggan adalah raja”, “pelanggan tidak pernah salah” dan seterusnya, merupakan contoh nilai-nilai yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Nilai-nilai mengindikasikan apa yang dihargai dan dinilai tinggi dalam organisasi tersebut. Tanggung jawab dan kemandirian pegawai menjadi nilai utama apabila perusahaan memberikan penghargaan lebih kepada usaha individual dalam bekerja. Begitu juga sebaliknya.

Sementara asumsi dasar dari Departemen Store dapat kita lihat dari internalisasi nilai-nilai tersebut pada anggota organanisasi. Lapisan terdalam ini paling sulit untuk diidentifikasi karena bahkan pada tingkatan ini anggota organisasi pun tidak menyadari keberadaannya. Nilai-nilai dasar ini sudah tidak lagi diucapkan, ditulis ataupun digembar-gemborkan, namun apabila anggota organisasi tidak memiliki nilai dasar ini, ia akan dianggap aneh dan menyimpang. Dalam contoh budaya departemen store tersebut, apabila kita menemukan bahwa seluruh karyawan departemen store tersebut, mulai dari tenaga kebersihan, keamanan, pramuniaga, hingga kasir memiliki keyakinan yang sama bahwa membuat pelanggan puas adalah kebaikan utama yang sangat bernilai di organisasi tersebut, maka bisa jadi nilai tersebut telah menjadi asumsi dasar pada organisasi tersebut.

Asumsi dasar sebenarnya memiliki kemiripan dengan nilai-nilai dasar. Atau lebih tepat, menurut Schein, asumsi dasar terbentuk dari keyakinan dasar yang terbukti bekerja dengan efektif. Konsep “pelanggan adalah raja” sebelumnya bisa jadi masih berada pada tataran nilai dasar, namun, apabila nilai ini dipegang dan diterapkan kemudian menghasilkan hasil yang positif bagi organisasi, lama-kelamaan nilai dasar ini akan menjadi diyakini oleh seluruh anggota sebagai asumsi dasar yang tidak terbantahkan lagi.

TIPOLOGI BUDAYA ORGANISASI

Karena sangat besarnya variasi dan kompleksitas dari budaya organisasi ini, para ahlipun nampaknya enggan untuk melakukan penggolangan atau penyusunan tipologi organisasi. Ahli sepperti Edgar Schein pun lebih cendrung untuk menyediakan pisau bedah budaya organisasi dengan tiga level analisis budaya nya. Menurutnya, budaya organisasi sebagaimana budaya pada masyarakat, terlalu variatif dan sulit untuk dikotak-kotakkan ke dalam jenis-jenis tertentu.

Para ahli budaya organisasi mungkin menganggap budaya organanisasi ini serupa kepribadian individu. Jika ditanya ada berapa banyak variasai kepribadian manusia, mungkin jawabannya adalah, sejumlah manusia itu sendiri. Untuk itu ahli-ahli psikologi kepribadianpun sebagian besar justru tidak melakukan pengklasifikasian atau memberikan tipologi kepribadian secara kaku. Hal ini yang juga menjadi pertimbangan peneliti-peneliti budaya organisasi terkemuka untuk cenderung menghindari penyususunan tipologi budaya organisasi.

Alih-alih menawarkan tipologi budaya organisasi, Robbins & Barwell (2002) justru mengungkapkan dua jenis budaya organisasi berdasarkan level internalisasi anggotanya. Robbins & Barwell menawarkan konsep budaya dominan dan subkultur yang mengacu kepada keyakinan dasar yang dimiliki oleh mayoritas anggota organisasi dan subkultur yang merupakan budaya sekunder yang mungkin hanya ada pada bagian tertentu dalam organisasi yang mengiringi budaya utama (dominan).

Sebagai contoh, dalam sebuah perusahaan yang memiliki budaya dominan khusus yang telah diyakini oleh seluruh anggota organisasi, terdapat beberapa subkultur pada masing-masing departemen yang berbasis pada profesi yang berbeda. Pada rumah sakit misalnya, meskipun sebuah rumah sakit swasta berbasis keagamaan memiliki budaya yang kuat pada seluruh karyawannya, terdapat budaya berbeda yang berlaku pada komunitas profesi dokter dan perawat di rumah sakit tersebut (subkultur).

Budaya dominan dan subkultur juga dapat muncul karena faktor social-geografis. Sebagai contoh, kita dapat melihat supermarket multinasional yang berpusat di Eropa dan membuka gerainya di Indonesia. Supermarket tersebut memiliki budaya utama (dominan) yang diturunkan dari kantor pusat, namun juga memiliki subkultur sesuai dengan budaya setempat dimana cabang tersebut berada.

EFEKTIVITAS BUDAYA ORGANISASI

Dalam dunia industri dan organisasi, segala aspek akan dilihat berdasarkan kontribusinya terhadap performa dan pencapaian tujuan organisasi, termasuk juga dalam hal ini budaya organisasasi. Baik buruk budaya organisasi akan diukur dari seberapa efektif kontribusi budaya terhadap pencapaian misi suatu organisasi.

Robbins & Barwell menyatakan, budaya yang efektif adalah budaya yang kuat, yatu budaya yang diyakini dan diinternalisasi oleh seluruh anggota organisasi secara intens. Semakin kuat suatu budaya akan semakin efektif dampaknya bagi perusahaan karena budaya tersebut mampu mengarahkan seluruh perilaku dan moral anggota organisasi untuk bersama-sama bergerak menuju tujuan mereka.

Dalam versi Schein, hubungan antara budaya organisasi dengan efektivitas organisasi dapat dilihat dari seberapa besar peran budaya yang dimiliki organisasi untuk dapat membuat organisasi fit secara eksternal dan internal. Budaya organisasi efektif adalah budaya yang mampu membuat organisasi beradaptasi dengan lingkungan eksternal termasuk dalam menghadapi persaingan. Selain itu, budaya organisasi juga harus fit secara internal yaitu mampu menjalankan peran integratif di dalam organisasi meliputi integrasi bahasa dan budaya, pembagian kekuasaan dan wewenang, pengembangan norma, sistem reward & punishment serta kemampuan untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan seperti tradisi-tradisi dan kebiasaan.

KESIMPULAN

Untuk dapat memahami budaya suatu organisasi, kita dapat meminjam pisau analisis yang telah disediakan oleh para ahli. Penggolongan atau tipologi budaya organisasi yang terlalu umum cenderung dihindari karena akan kurang tepat menggambarkan budaya organisasi yang sangat bervariasi. Upaya untuk memahami budaya suatu organisasi hendaknya dilakukan secara induktif, berdasarkan pengamatan dan pengumpulan data yang cermat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Schein (1996) “Konsep budaya organisasi hanya akan bernilai jika konsep tersebut berasal dari pengamatan langsung perilaku-perilaku dalam organisasi tersebut”. Dengan cara ini diharapkan kita akan dapat memiliki pemahaman utuh dan akurat yang dapat memberikan gambaran mengenai keunikan budaya organisasi yang kita teliti.

Referensi :

Schein, E., 2004. Organizational Culture & Leadership. San Fransisco : Jossey-Bass.

Schein, E., 1996. Culture : The Missing Concepts in Organizatio Studies. Administrative Science Quarterly. Vol. 41 No.2 p.229

Robbins, S., & Barnwell, N., 2002. Organisation Theory. Australia : Pearson Education.

Oleh : Luqman Tifa Perwira

Bagikan Konten Kami

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *